KURSI KEPEMIMPINAN MENJADI AJANG REBUTAN
Sudah hal yang biasa ketikan
kita membahas tentang perebutan kursi kepemimpinan, bahkan dari dahulu
kala, yang namanya kursi kepemimpinan selalu diperebutkan. Sejarah
mencatat ketika Rasulullah wafat kursi kepemimpinan ummat Islam otomatis
tidak ada pemimpinnya, pada waktu itu banyak pihak yang mengkalim bahwa
kursi kepemimpinan adalah hak miliknya, seperti kaum Ansor dan
Muhajirin yang menganggap pihaknyalah yang berhak menggantikan
kepemimpinan umat Islam setelah Nabi wafat. Bukan hanya kaum ansor dan
Muhajirin. Tetapi masih banyak kaum atau golongan yang mengklaim bahwa
kursi kepemimpinan hak mereka, ini mengisaratkan bahwa perebutan kursi
kepemimpinan sejak dahulu memang selalu diperebutkan.
Tidak
heran apabila pada masa sekarang kursi kepemimpinan menjadi ajang
rebutan, sebab pada dasarnya manusmereka mempunyai jiwa pemimpin, maka
banyak orang yang menginginkan kursi kepemimpinan bisa mereka duduki,
sekalipun dengan segala macam cara pasti mereka lakukan untuk mencapai
tarjet (kursi kepemimpinan) yang mereka inginkan.
Kalau kita melihat perebutan atau
pemilihan pemimpin baik itu dari jajaran atas sampai jajaran yang paling
bawah, berbagai macam cara yang dilakukan oleh para kandidat untuk
mendapatkan kursi kepemimpinan yang mereka hendaki, baik dengan cara
yang sportif bahkan dengan cara yang tidak sportif. Inilah fenomena yang
terjadi pada masa sekarang, hususnya di bangsa kita ini.
Ketika kepemimpinan diraih dengan
cara yang tidak seportif atau dengan cara yang tidak diperbolehkan,
misalnya membeli suara, artinya adalah setiap masyarakat yang mempunyai
hak pilih, mereka diberi uang dengan tujuan mereka harus memilih calon
yang a. Hal inilah yang membuat kepemimpinan menjadi bobrok, sebab siapa
saja bisa menjadi pemimpin kalau mereka mempunyai uang untuk membeli
suara, maka mereka bisa memenangkan perebutan kepemimpinan tersebut,
sekalipun mereka seseorang yang dholim, jangan heran apabila pemimpin
tersebut kurang memperhatikan terhadap masyarakatnya. Sebab dari proses
terpilihnya menjadi pemimpin sudah tidak sesuai dengan kaidah yang
berlaku, sehingga pemimpin yang telah terpilih hanya mementingkan
keperluan dirinya sendiri, sebab gocek yang telah dikeluarkan sudah
banyak, maka mereka berusaha bagaimana caranya dana yang telah
dikeluarkan waktu kampanya bisa kembali, oleh sebab itu jangan heran
apabila mereka (pemimpin) tidak fokus terhadap leperluan masyarakatnya,
kemudian yang terjadi adalah keterlantaran masyarakat yang dipimpinnya.
Dari pada itu era sekarang
kedudukan pemimpin bukan dijadikan sebagai pengabdian diri terhadap
masyarakat, malah mereka jadikan kursi kepemimpinan sebagai lahan
pekerjaan. Coba kita lihat para pemimpin kita tidak ada yang melarat
artinya yang kekurangan, malahan harta mereka berlimpah. Maka masa
sekarang jiwa-jiwa pemimpin sudah pudar terkikis oleh mental-mental
proyektif. Setidaknya banyak pelajaran yang perlu kita perhatikan bahwa
menjadi seorang pemimpin sangatlah tidak mudah, dan mempunyai resiko
yang sangat besar, mengapa demikian? Dalam hadis Nabi disebutkan yang
artinya; “mereka semua adalah pemimpin (pemelihara) dan bertanggung
jawab terhadap rakyatnya. Pemimpin akan ditanya tentang rakyat yang
dipimpinnya. Suami pemimpin keluarganya dan akan ditanya tentang
keluarga yang dipimpinnya. Istri memelihara suami dan anak-anaknya dan
akan ditanya tentang hal yang dipimpinnya. Seorang hamba (buruh)
memelihara harta majikannya dan akan ditanya tentang pemeliharaannya.
Camkanlah bahwa kalmerekan semua pemimpin dan akan dituntut (diminta
pertanggung jawaban) tentang hal yang dipimpinnya”. (dikeluarkan oleh
Imam Bukhari). Dengan demikmerekan jadilah pemimpin yang amanah dan
jujur dalam menjalankan roda kepemimpinannaya.
Seorang pemimpin yang tidak amanah,
tidak jujur dan juga tidak mau mengayomi dan melayani rakyatnya maka
mereka diancam tidak akan pernah mencium harumnya surga apalagi
memasukinya, sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi yang
artinya;”Sesungguhnya sejahat-jahatnya pemerintahan yaitu yang kejam,
maka janganlah kau tergolong dari mereka.” (H.R. bukhari dan Muslim).
Oleh karena itu, kita sebagai hamba Allah seharusnyalah berhati-hati
supaya tidak tergolong sebagai pemimpin yang zalim, sebab kepemimpinan
seorang hamba akan dipertanyakan dihadapan-NYA kelak.
Oleh sebab itu berhati-hatilah
dalam memilih seorang pemimpin, pilihlah pemimpin yang betul-betul
didasarkan kepada kualitas, integritas, loyalitas dan yang paling
penting adalah perilaku keagamaannya. Jangan memilih mereka karena
didasarkan rasa emosional, baik karena ras, suku bangsa ataupun
keturunan. Lebih-lebih era sekarang, kepemimpinan dijadikan ajang
kompetisisi, maka seorang kandidat pemimpin melakukan segala macam cara
supaya pemilihan jatuh kepadanya. Sedangkan tradisi yang sudah menyebar
bahwa seorang calon yang tidak mampu memberikan prektis (uang) sebelum
pemilihan maka mereka tidak akan banyak yang memilih artinya adalah
mereka akan kalah dalam pertarungan perebutan kursi kepemimpinan, namun
sebaliknya seorang calon bisa memberi perkepala sekian ribu maka sudah
jelas dmereka akan menjadi pemenang dalam ajang tersebut. Biasanya
fenomena yang terjadi siapa yang paling banyak mengeluarkan gocek maka
dialah yang menjadi pemenang dalam pemilihan tersebut. Tetapi perlu
digaris bawahi bahwa tidak semua yang mengeluarkan gocek banyak yang
akan menjadi pemenang.
Maka berhati-hatilah dalam
menentukan pemimpin jangan memilih pemimpin yang didasarkan rasa
emosional lebih-lebih sebab iming-iming uang, karena jika mereka tidak
dapat menjalankan kepemimpinannya, maka ratyatlah yang akan merasakan
kerugiannya. Semoga kita tidak termasuk pemimpin yang dholim, amien.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar